Sebait Rindu padamu, Guru
oleh : Roni Bani
Sebait Rindu padamu, Guru
Roni Bani dalam satu kesempatan di suatu tempat yang jauh dari Indonesia
Aku sedang tengadah melolongkan tatapan ke cakrawala mahaluas
Di sana bagai tiada aneka rasa pada perarakan awan penghiasnya
Di sana ada cahaya kemilau dari sumber abadi bagai tanpa pengurusnya.
Di sana bagai tiada ragam emosi pada burung-burung pelintas udara.
Di sana kaum pencipta telah menerbangkan burung besi pembawa suka dan duka
Di sana berjuta kisah tercipta manakala sastrawan melukiskan ragam kenangan
Aku...
Aku sedang melongo pagi ini di lereng kampung terlanda kabar korona penghantar kesepian
Di sini ada kemesraan pada komunitas kaum peladang sambilan beternak
Di sini ada kecemasan pada penganut agama semawi yang tak dapat bersekutu dalam ritual rutin
Di sini ada kegalauan pada guru dan siswa yang diharuskan menjaga jarak fisik dan sosial.
Di sini perangkat penata masyarakat berputar-putar mencari celah peneduh kecemasan komunal.
Di sini ada pengalaman cukup-cukup saja untuk menata diri menghadapi era normal baru
Aku...
Aku menelusur di zaman yang menggunakan dua kata kunci, brwosing dan searching
Kutemukan beragam informasi dalam bahasa manusia yang terus berkembang
Kunikmati gaya mereka menulis bagai bercerita belaka sambil bertanya pada diri sendiri
Kutanyakan, "Mengapa aku tidak dapat menulis seperti mereka?"
Sekonyong-konyong aku mendapatkan jawaban konyol, "Kau tidak mencoba, nak!"
Sang suara melanjutkan padaku, "Mana bisa kau menyebut diri guru tanpa bisa menulis!"
Oh...
Aku mendapatkan tamparan pedis di pipi ini!
Aku menggunakan kedua tapak tangan untuk merabai wajah ini.
Aku sungguh merasakan ada kehangatan mendekati panas,
Aku bagai hendak terserang demam panas di pagi ini.
Aku...
Aku melangkah meninggalkan ruang sepi tempatku menghindari korona.
Aku bertanya pada sebentuk pohon di depan rumahku.
"Halo, dapatkah kau menolongku yang berprofesi sebagai guru agar dapat menulis?" tanyaku
"Betapa kau bodoh bila bertanya padaku, mestinya kau mempelajari diriku dan menulis tentang diriku!" jawabnya.
Aku beralih kepada sebentuk binatang peliharaanku,
"Halo, dapatkah kau menolongku yang berprofesi sebagai guru agar dapat menulis?" tanyaku.
"Semestinya kau ajari aku agar ada pertunjukkan, bukan bertanya padaku. Kau tulis bagaimana mengajari binatang." jawabnya.
Aku...
Aku diam dalam sepiku.
Sejurus kemudian...
...
Aku temukan sekelompok orang berbayang melintas di depan mata
Mereka mengenakan pakaian kebesaran pendidik bergelar akademik
Mereka mengisi kepalanya dengan pengetahuan berjubel sesak
Mereka hendak menyeberangkan seluruh pengetahuan itu agar ada kelegaan.
Mereka menggendong bertumpuk buku dan literatur hingga patah pinggang.
Mereka bersuara lantang manakala sudah bersama para muridnya kelas.
Mereka dipagari aturan bla bla bla hingga bagai pemain kelereng berbatas tor.
Mereka harus bla mesti bla wajib bla agar dapat bla sehingga menjadi bla.
Lalu tersedaklah mereka di titik tangga naik pangkat menuju bintang.
Aku...
Aku kembali ke ruang semedi.
Di sana aku merindukan guru-guruku.
Semoga guru-guruku abadi namanya di relung hati yang pasti terhapuskan kesibukan zaman.
Semoga guru-guruku lestari namanya di prasasti literasi sederhana terwujud tulisan.
Entah kesemogaan ini menjadi nyata, atau malah aku yang harus tersipu malu.
Koro'oto, 13 Juni 2020

Rasa sejuk dalam qalbu membaca puisi ini
BalasHapusterima kasih, ini mungkin satu-satunya pembaca yang bersedia memberi komentar. Salam Literasi. Mari Menulis
BalasHapusSeakan, aku dalam puisi ini adalah aku yang membaca, krn kalimatnya membawa alam pikiranku bergerilya dalam alam nyata sepeeti yg tergambar dalam kalimat puisi ini. Luar biasa penulisnya.
BalasHapusMuantap pak ..
BalasHapusKeren dan berkelas salut senior
BalasHapus