Selamat Jalan, Vany
Hari yang cerah di desa, udara
yang segar, jauh dari kebisingan. Tidak banyak kendaraan bermotor dengan bahan
bakar yang menghasilkan karbondioksida menimbulkan polusi, hanya ada bunyi
kaki-kaki kecil yang terdengar. Hanya ada suara ternak-ternak peliharaan berteriak
seolah meminta tuannya memberi makan. Ya desa yang indah.
Ia bergegas ke sekolah, sambil
memegang jajanan di dalam sebuah kantong plastik , bergegas menuju kantin untuk
menitipkan jajanan pada kantin sekolah. Yang nanti nya akan dijual oleh ibu
yang bertugas di kantin. Jajanan ini sangat laris dan dicari-cari warga sekolah
pada jam istirahat.
Vany masuk ke kelas, di sana ia
bertemu guru kelas nya, ibu Ita.
“Selamat pagi, bu,” Vany memberi
salam pada ibu gurunya.
“Selamat pagi, Vany. Apa kabar?
Sehat-sehat,ya,” balas ibu gurunya.
Ibu Ita adalah sosok ibu yang
begitu perhatian dengan Vany sejak Vany masuk sekolah. Apalagi setelah Vany ditinggal
sang ibu. Sudah berulang kali ibu Ita mengajak Vany tinggal bersama nya tetapi Vany
tidak menerima tawaran tersebut, Vany mau terus berada di gubuk mereka , karena
di sanalah ia bisa merasa tenang, dan bisa bekerja dengan leluasa, maklum Vany
anak yang pemalu, apalagi di rumah ibu Ita ia akan sulit menyesuaikan diri.
Ini yang membuat Vany bertahan
sendri dan berjuang melewati setiap hari. Selain Vany anak yang mandiri, bisa
membuat jajanan, ia memiliki kelebihan dalam pelajaran matematika. Lewat
kelebihan tersebut ia menolong teman-teman yang kesulitan dalam pelajaran
tersebut.
Ia mendapat balasan atas jasanya.
Ulang-ulang Vany menolak akan tetapi mereka terus memaksa hingga Vany menerima.
Ada yang memberikan Vany pakaian, makanan dan kebutuhan lain nya.
Vany juga memiliki suara yang
merdu, sehingga selalu mengisi pujian di gereja, dan membuat para jemaat
tergugah ketika mendengar suara nya yg begitu indah.
Nasib Vany yang malang, yang
telah ditinggal orangtuanya membuat dia gigih berjuang, sekalipun anak seusia Vany
tak seharusnya berjuang mencari nafkah. Tuntutan hidup membuat dirinya harus
bekerja keras.
Setiap pekerjaan dan kesibukan
dalam membantu teman yang membutuhkan ia jalani dengan cinta, ketulusan dan
ungkapan syukur. Sehingga banyak dari orang-orang yang Vany temui begitu
mencintai menerima dan memeluknya dengan cinta yang hangat.
Hingga suatu waktu, Vany mengidap
satu penyakit yang membuatnya semakin kurus, lemah, dan sering pingsan jika
kelelahan. Awalnya ia mengira kalau ia kurang istrahat,atau karena terlambat
makan, tapi semakin hari keadaannya semakin memburuk, membuat ibu Ita merasa
sedih.
Ibu Ita menyemangati Vany,
membawanya ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya. Awalnya Vany menolak
dengan alasan merepotkan.
“Vany mesti ke rumah sakit. Di
sana dokter dan para perawat akan mengurus sebaik-baiknya untuk mengetahui
jenis penyakitmu, dan cara merawatnya.”
“Tidak, bu. Rasanya akan
merepotkan,” jawab Vany.
Desakan ibu Ita berhasil
meyakinkan bahwa penyakit apa pun itu perlu mendapat penanganan medis.
Mereka berangkat ke Puskesmas di
kota kecamatan. Di sana ia mendapatkan secarik kertas yang disebut rujukan.
“Kamu harus mendapat perhatian
serius di rumah sakit, nak. Di sini perlengkapan belum memungkinkan,” demikian
urai seorang perawat Ketika menyerahkan surat rujukan.
Mobil ambulans dari Puskesmas
mengantar Vany dengan didampingi seorang perawat dan ibu Ita. Tiba di rumah
sakit perawat yang mendampingi menyampaikan catatan dari Puskesmas.
Dokter menyarankan untuk pemeriksaan
lengkap. Vany dan ibu Ita menunggu jadwal periksa pukul 16.00, ibu Ita melihat
jam tanggan nya baru pukul 15.40.
Mereka menunggu 20 menit lagi.
Hingga tak lama kemudian Namanya disebutkan. Dokter meminta agar pasien
menjalani rawat inap.
Rawat inap dijalani dalam
beberapa hari, namun kondisi tubuh makin melemah. Hasil pemeriksaan yang disebut pemeriksaan
lengkap ada di tangan ibu Ita. Ibu Ita menuruti dan dengan pelan membuka map
yang berisi kertas putih bertuliskan hasil pemeriksaan. Ibu Ita kaget, pucat
dan merasa tidak percaya ternyata Vany
menderita penyakit kanker otak stadium akhir.
Ibu Ita meneteskan air mata, ia
tidak menyangka anak baik, dan mandiri serta anak yatim piatu ini harus
mengalami penyakit mematikan. Vany bertanya tentang apa penyakit yang ia derita.
Ibu Ita menangis dan memeluk Vany, mencium nya.
“Ibu doakan, kamu akan baik-baik
saja nak.”
Ibu Ita memeluk erat tubuh Vany. Vany seakan bertambah bingung dengan apa yang sedang
terjadi. Ibu Ita masih memeluknya seakan tidak mampu memberitahukan hasil
pemeriksaan tadi. Vany meraih map tadi, dan cepat-cepat membuka kertas lalu
membaca.
Vany diam. Dalam diamnya itu ia menatap
lembaran berisi informasi yang tak dapat dipahaminya secara baik. bibirnya
terkunci, ia tak mampu berbicara, ia melepaskan pelukan ibu Ita, ia menarik
napas dan menghembuskannya lagi.
Dengan suara perlahan ia berbisik
pada ibu Ita, “Bila Tuhan berkenan pada hidup saya seperti apa pun itu, saya
iklhas menerima , saya tidak menolak kehendak Tuhan.”
Ibu Ita mengabarkan ke kampung pada
keluarga Vany. Beberapa orang datang membezuk dan menjaga agar ibu Ita dapat
melaksanakan tugas.
Beberapa hari kemudian, Vany
dibawa kembali. Kabar ini sampai kepada ibu Ita. Ibu Ita berencana mendatangi
rumah Vany sepulang sekolah.
Maka sepulang sekolah ibu Ita
menuju rumah Vany, ia rindu bertemu Vany, dan rindu memeluknya apalagi dalam
keadaan seperti ini. Tak lupa membawa bingkisan makan dan buah-buahan untuk Vany.
Ketika tiba di sana, ibu Ita justru harus berhadapan dengan
kenyataan bahwa muridnya, Vany telah tiada. Jasadnya kaku di pembaringan. Ia telah
pergi untuk selama-lamanya. Ia menangisi jenasah muridnya.
Langit bagai sedang mendung hendak menurunkan hujan lebat.
Kerabat dan sahabat-sahabat Vany bersama-sama mengantarkan jenazahnya yang
telah dikemas dalam satu unit peti. Upacara penguburan berlangsung dengan
isak-tangis yang tak henti-hentinya.
Editor: Heronimus Bani
Keren keren ibu Tathy
BalasHapus