Pengalaman Saya sebagai Mahasiswa yang Berteman dengan Bapak Roni Bani

Ivah Keo; 


Pada tahun 2021, (maaf; lupa tanggalnya) kami dari desa Kotabes mengarah langkah menuju desa Nekmese. Saat itu kami hendak bertamu ke rumah seseorang yang disebut-sebut bernama bapak Roni Bani. Dari informasi awal yang kami dapatkan, bapak Roni Bani seorang guru Sekolah Dasar yang juga peduli pada aspek kebudayaan, khususnya pada masyarat adat Amarasi.

Desa Kotabes bertetangga dengan desa Nekmese, namun dipisah oleh hutan lindung yang dinamakan Taman Hutan Raya Herman Johannes. 

Kami tiba di desa Nekmese langsung menuju ke rumah bapak Roni Bani. Kami disambut dengan ramah karena sebelumnya kami sudah mengabarinya melalui seorang guru yang bertugas di SMA Negeri 2 Amarasi Selatan. Guru yang dimaksud tidak lain adik dari ibu saya.

Selanjutnya, sebagaimana biasanya para orang tua bertemu, ada suguhan sirih-pinang. Mamahan yang lazim pada masyarakat Amarasi. Tentu pada masyarakat Timor pada umumnya dan masyarakat suku bangsa lainnya yang mempunyai budaya yang sama, mamahan sirih-pinang-kapur. Pendekatan yang sudah membudaya ini menjadi sarana untuk bisa saling membuka percakapan lebih lanjut baik dalam situasi formal maupun nonformal. 

Dalam pertemuan itu, saya untuk pertama kalinya bertemu dan mengenal bapak Roni yang dikenal oleh banyak orang sebagai orang tua di desa Nekmese dan juga sebagai salah satu yang mengerti tentang tradisi atau adat dalam Amarasi. 

Pada saat itu saya berstatus sebagai seorang mahasiswa di salah satu Universitas yang mengambil mata kuliah dengan kredit besar yakni Skripsi atau tugas akhir. Maka, kerinduan untuk menulis sesuatu yang sifatnya kontekstual yakni kebudayaan. Kerinduan ini mengantar saya untuk bertemu dengan bapak Roni. Saya rindu mendengar gambaran mengenai kebudayaan yang ada di wilayah Amarasi.  Bukan saja mendengar, namun saya pun berharap mendapatkan saran-saran tentang kira-kira apa yang akan saya jadikan sebagai topik dalam penulisan Tugas akhir saya.

Percakapan pada sore itu berakhir. Kami pulang dengan perasaan sukacita terutama pada diri saya yang akan kembali ke kampus. Saya mesti menyelesaikan tugas akhir tepat waktu oleh karena saya ingat kesulitan ekonomi orang tua.

Komunikasi selanjutnya dengan bapak Roni dilakukan melalui aplikasi WhatApp. Fokus penelitian dan tulisan untuk tugas akhir yang saya wajib tekuni dan telah disetujui pihak Program Studi yakni Oko'mama: bentuk, fungsi dan makna dalam penggunaannya.

  • Menyangkut Oko'mama itu yang menjadi simbol yang hampir semua orang percaya kalau hal itu sebagai  cara untuk saling menyapa seara mudah, atau dalam kerangka menjembatani pergaulan bahkan sekalipun oko'mama' itu tidak ada isinya sekalipun.
  • Menyangkut bentuk : berbentuk persegi dengan balutan motif Amarasi. Motif yang melekat di sana pun ada maknanya tersendiri. Oko'mama' itu terdiri dari dua bagian; bagian yang pertama berada di bagian bawah dengan fungsi sebagai tempat menyimpan sirih-pinang yang mana itu hanya boleh diambil oleh orang yg menyuguhkan, dalam hal ini pemilik dari oko'mama'. Bagian kedua itu yaitu yang ada di atas sebagai penutup dan sebagai tempat penyimpan sirih pinang untuk dinikmati bersama. Bagian ini sering pula terbagi lagi baik dua atau tiga "kamar". 
Diskusi via WhatApp kami lakoni ketika saya menulis tugas akhir. Setiap ada hal yang perlu saya tanyakan, pasti bapak Roni memberi jawabannya. Sungguh suatu pengalaman yang tak akan saya lupakan.

Banyak orang mengatakan bahwa hal menulis skripsi ketika tidak bertemu langsung dengan narasumbernya tentu sulit. Mengapa? Karena bisa jadi ada hal-hal yang tidak bisa kita dapatkan dengan jelas, artinya bahwa ruang untuk berdiskusi itu sangat sempit. Itulah mengapa banyak orang mengatakan bahwa ketika penulisan tugas akhir itu terjadi harus ada pertemuan langsung dengan orang yang bersangkutan atau narasumbernya.

Pada situasi seperti itu tidak saya dapatkan, karena  saya percaya bahwa bapak Roni mampu mendampingi dan menuntun saya untuk menyelesaikan tulisan tugas akhir/skripsi saya sekalipun itu dari jarak jauh. Harapan itu terwujud. Di sisi lain ketika dalam penulisan ada kekeliruan dari penjelasan itu saya mendapat ruang untuk kembali bertanya pada bapak Roni. Saya selalu mendapatkan jawabannya.

Proses demi proses sudah saya lewati sampai akhirnya keberhasilan dalam menulis itu membuahkan hasil dengan diakui sebagai seorang sarjana. Pengakuan itu terjadi ketika upacara penggelaran oleh pihak Fakultas. Upacara penggelaran mana yang biasanya disebut yudisium. 

Sesudah yudisium selanjutnya  melewati tahap wisuda. Ketika nama disebutkan, ada rasa bangga dan haru. Bangga pada penyertaan Tuhan, motivasi dan keikhlasan orang tua, terharu karena kerja keras orang tua mengantarkan saya tiba di podium wisuda.

Upacara wisuda telah berakhir. Saya pulang ke Timor. Menuju kampung Oebaki' di desa Kotabes Kecamatan Amarasi.

Ketika saya tiba ada perencanaan dari pada orang tua dan keluarga yang punya kerinduan untuk mensyukuri semua karya kasih Tuhan. Proses dan pergumulan kuliah hingga tiba pada wisuda dengan segala pernak-pernik problematikanya kami patut syukuri. Ibadah syukuran wisuda terjadi pada tanggal 7 Juli 2023.

Dalam moment itu saya bertemu kembali dengan bapak Roni yang tidak bosan dan tiada mau berhenti mendukung saya. Dalam hadrinya itu kami saling menyapa dan bercerita secara leluasa. Dia memberi nasihat sebagai motivator.

Dengan kerendahan hati dan kebanggaan saya menyampaikan ungkapan terima kasih saya dengan tanda terima kasih. Tanda itu dengan memberikan buku hasil penulisan Tugas Akhir saya. 

Tiada diduga, ternyata bapak Roni memberikan saya satu buku berjudul: Sangpiak Toraja Utara Kami Datang. Buku ini ditulis sendiri olehnya.

Ivah Keo & Bp Roni


Malam ini, Minggu (9/3/25) bapak Roni tuntun saya dengan satu dua pertanyaan untuk menulis kembali pengalaman ini.

Saya sangat bersyukur pada Tuhan Yesus. Dia pertemukan saya dengan bapak Roni Bani. Dia suka sebut saya dengan sebutan Ana bae. Saya rasa tidak nyaman, tetapi begitulah bapak Roni. 



Oebaki'-Kotabes, 9 Maret 2025

Penulis: Ivah Keo
Editor: Admin

Komentar

  1. Keraguan mesti dikikis dengan pisau keberanian;
    Menulislah dengan cara yang sama dengan bercerita.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curhat ibu Guru pada Jalan yang dilalui Bagai si Anak Tiri

Catatan tentang Kebun Kelapa pada Penulis Pemula

Menulis untuk Berterima kasih