Sudut Pandang Penulis Pemula pada Ayam
seekor ayam muda; foto: Roni
Catatan Awal
Pada WhatsApp Grup Penulis Pemula ditempatkanlah oleh Admin seekor ayam. Permintaan Admin, tulislah satu cerita pendek dengan melihat gambar ini.
Penulis Pertama, Tathy Amnifu
Hari ini, Sabtu (22/2/25) ketika saya pulang dari sekolah, saya berbaring sejenak untuk melepas lelah.
Tiba-tiba ada nada dering pada android di mana ada aplikasi WhatsApp. Saya segera membuka aplikasi komunikasi ini. Di sana saya melihat ada gambar seekor ayam yang dikirmkan oleh seorang Penulis senior. Ia meminta saya menulis sesuatu dengan objek gambar tersebut.
Saya mencoba menguraikan bahwa dalam gambar ini, ada seekor ayam yang sedang berdiri. Ia sendirian, tidak ada ayam lain yang menemaninya. Ayam ini sedang menatap jauh ke depan, seakan-akan menatap masa depan dengan suatu impian dan harapan.
Jika ayam ini mampu berdiri sekalipun ia sendiri, dan terus menatap ke depan, biarkan saya belajar dari seekor ayam ini. Pelajaran yang saya dapatkan yakni berdiri kokoh pada idealisme tugas dan tanggung jawab sambil menatap masa depan dengan harapan meraih impian sebagai cita-cita.
Ya. Meraih impian dan harapan
Penulis Kedua, Roni Bani
Aku berdiri di sini, di suatu tempat pada hari ini, Sabtu (22/2). Namaku Manu. Ya, insan berakhlak mulia menyebutku demikian. Katanya ada yang menyebutku dengan bahasa lain, ayam. Di tempat lain ada yang menyebut diriku pitik lalu dunia internasional katanya pakai istilah chicken. Akh... namaku, sangat beragam.
Beragam-ragamnya namaku itu oleh karena bahasa manusia yang katanya cerdas itu. Manusia itu diciptakan oleh Sang Khalik Ilahi. Dia menempatkan pada mereka beberapa hal yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan lainnya, yaitu: kecerdasan, berbahasa, emosi. Dalam kesemuanya itu manusia dapat berkreasi dan berinovasi, berkomunikasi, bersimpati, empati dan antipati, serta mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Katanya manusia itu punya pengetahuan, sehingga ia mampu menimbang yang baik dan buruk. Kabarnya, mereka berkarakter baik dan buruk juga, termasuk kejahatan pun mereka lakoni.
Akh... manusia bukanlah Manu
Sementara aku di sini yang Manu berkotek sebagai cara kami berkomunikasi antar sesama. Kami ada jantan, betina, dan ada pula yang disebut induk dan anak.
Dalam dunia kami yakni dunia ayam, ada jenis-jenisnya. Ada ayam kampung. Saya termasuk jenis yang satu ini. Saya memang terlahir di kampung. Ada pula yang disebut ayam pedaging dan ayam petelur. Dua jenis ini dikandangkan, dipaksa segera menjadi besar untuk didagingkan. Sementara yang satunya lagi harus bertelur setiap hari sampai pada titik tak mampu lagi maka didagingkan.
Jenis ayam yang lain, namanya ayam hias. Sesuai namanya diperuntukkan sebagai hiasan tetapi tidak dipajang di tembok atau dinding rumah. Suaranya yang merdu dan postur tubuhnya yang kecil dan indah. Itulah sebabnya disebut ayam hias.
Di tempat lain ada ayam yang kelihatannya seperti kapas belaka. Maka tidak heran kalau namanya ayam kapas. Katanya jenis ini hidup di Cina dengan keunikan postur tubuh yang anggun dan membuat penasaran karena kakinya ada lima.
Ayam kapas/sutra (silky) Sumber: https://rri.co.id/
Hehe, kamu baru tahu, ya?
Na, masih banyak jenis ayam sebagai bangsa kami. Saya cukupkan di sini ceritanya. Satu kepastian bahwa kami berkembang biak dengan bertelur. Katanya para guru Sekolah Dasar menyebutkan cara kami ini dengan istilah ovipar . Memang mereka cerdas, jadi kalau ada istilah seperti itu, kami suka-suka saja.
Makanan kami biji-bijian, misalnya biji jagung, biji padi, beras. Kami juga makan serangga, dan dedaunan hijau.
Cukup sekian ceritaku sebagai Manu.
Penulis Ketiga; Alex Faot
Ketika dalam perjalanan sepulang dari sekolah kira kira pukul 15.00WITa, dalam satu grup WA aku disuguhkan gambar seekor anak ayam. Dalam pandangan saya, apa kira kira maksud gambar ini?
Dalam benak saya anak ayam ini sedang berpikir, "Kemana tujuanku, panjangkah tujuanku, adakah aral dan rintangan didepan, sanggupkah aku?"
Seperti perjalanan hidup manusia, kita tidak segera dapat menerka dengan pasti arah dan tujuan kita. Kita tumbuh dan berkembang seperti anak ayam ini, dari hal hal kecil kemudian kita akan bertumbuh. Mampukah kita melewati semua ini, melawan kerasnya hidup yang penuh misteri?
Kita hanya dapat menatap, menjalani sambil bersyukur, refleksi ini kuteruskan dalam perjalanan dari sekolah sampai ke Camplong kemudian kuteruskan perjalanan menuju Kota Kupang. Aku menulis catatan kecil ini dalam perjalanan pulang ke Camplong.
Penulis Keempat, Merdana Ora
Sabtu malam atau bahasa kerennya Malam Minggu, ketika saya selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan sejenak duduk menikmati secangkir kopi panas sambil membuka handphone tiba-tiba notif WA terbaca ada group baru dengan nama Penulis Pemula.
Tanpa menunggu lama saya segera membuka beranda WA dan mengunjungi group tersebut. Saya melihat ada gambar ayam yang dikirimkan oleh Seorang Pencinta Pena, motivator literasi saya dan meminta kami yang berada dalam group untuk bisa menuangkan ide dan gagasan berupa cerpen tentang gambar ayam tersebut.
Dari pandangan mata dapat dikatakan bahwa ada seekor ayam yang berdiri dengan ingatan yang tajam untuk mengenali pemiliknya dan mempersiapkan mentalnya untuk menghadapi tantangan dalam berinteraksi dengan alam semesta.
Dalam kesendirian seolah ayam tersebut merenung dalam balutan harapan pasti ada kecukupan yang ditemui dalam bebas dan mengenyam semanybaru untuk terus menghadapi dunia.
Kesendirian bukan menjadi penghalang untuk ayam terus berpijak pada alam terbuka melainkan sebagai dasar juang untuk ia terus menapaki setiap dinamika alam yang nantinya dapat memberikan manfaat bagi manusia.
Kokok ayam adalah alarm istimewa tanpa berbayar untuk manusia memulai hari maka peliharalah dia ketika Pencipta mengizinkan kita memiliki
Selamat malam para pemula, sekalipun sederhana, ini namanya artikel; teruslah menulis
BalasHapusTerima kasih untuk kesempatan berharga ini, terima kasih bimbingannya bp Roni Bani
BalasHapusSiap pak guru. Ayo ajak kawan laen masuk grup. Botong balajar sama-aama
Hapus