Pusara Berbalut Sang Merah Putih



Sumber: Meta AI


Pusara Berbalut Sang Merah Putih

Di tepi jalan yang sepi, di atas satu bukit yang dikelilingi hutan bambu, beberapa pohon kayu putih (Melaleuca cajuputi dan Melaleuca leucadendra berdasarkan informasi yang ditemukan di google),  nampak sorang laki – laki berumur sekitar empat puluhan tahun. Ia duduk di sana menikmati sebotol air mineral. Motor tua miliknya menjadi temannya dalam perjalanan. Saat menikmati air mineral itu, ia sedang melepas lelah agar tubuhnya kembai pulih setelah merasakan udara segar di alam bebas nan asri. 

Laki–laki ini adalah seorang guru yang baru lolos seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjjian Kerja yang dikenal luas oleh public dengan istilah P3K. Ia mendapat penugasan pada satu unit satuan Pendidikan di daerah pedalaman.

Hari ini, ia sedang dalam perjalanan sebagai guru dengan status P3K. Ia hendak melaporkan diri di tempat tugasnya yang baru. Ia tiba di suatu area berpadang sabana, dengan dilatari bebukitan yang terlihat indah. Jalan yang belum beraspal. Di kejauhan terlihat rumah penduduk tertata rapih.

Markus Amanit, demikian panggilan nama lengkap sang guru baru yang baru bertugas di tempat tugas yang baru. Sekolah Dasar Negeri Anugerah sebagai tempat Markus Amanit bertugas. Sekolah itu terletak di satu desa yang cukup terpencil dengan jumlah penduduk yang sedikit dan terkonsentarasi pada satu tempat, lainnya menyebar oleh karena topografi lokasi desa yang berbukit dan lereng.

Sumber: Meta AI

“Selamat sore bapak, apakah saya sedang berada di jalan yang tepat menuju Sekolah Dasar Anugerah?” tanya pak Markus pada seseorang  yang melintas di jalan itu

“Betul. Silahkan jalan lagi, nanti masuk di pintu gerbang desa, boleh tanya anak-anak yang sedang main bola di lapangan kecil,” jawab bapak itu.

Si bapak dari desa itu membawa sebilah parang bersarung yang diselipkan di ikat pinggangnya. Rupanya ia hendak memasuki hutan untuk suatu maksud. Entah mencari kayu bakar, atau hal lainnya.

Markus menghidupkan motornya. Ia melajukan motor memasuki desa Anugerah. Benar saja, di pintu gerbang desa, ada satu area datar yang dimanfaatkan anak-anak untuk bermain sepak bola ala anak-anak pedesaan. Ia menghentikan motornya. Menyapa dan memanggil seseorang di antara mereka.

 

Sumber: Meta AI

“Halo. Selamat sore anak-anak.” Ia menyapa sambil menegakkan satu “kaki” motornya untuk berdiri.

Ia mendekati anak-anak itu. Menyalami mereka satu per satu.

“Apakah kamu murid-murid di Sekolah Dasar Negeri Anugerah?” tanyanya.

“Ya!” salah satu di antara mereka menjawab. Lainnya mengangguk.

“Kalau begitu, saya minta salah satu di antara kamu berteman dengan saya. Saya bonceng di motor ini sebagai penunjuk jalan menuju rumah Kepala Sekolah,” pintanya.

Anak-anak itu saling bertatapan, siapa yang mau menjadi relawan penunjuk jalan.

Akhirnya ada seorang di antara mereka mau menjadi penunjuk jalan.

Mesin motor dihidupkan, lalu pak Markus dan anak itu pun pergi. Anak-anak yang lain bubar berhubung hari makin senja. Matahari terlihat makin condong ke Barat. Satu lingkaran besar memerah padam di sana.

“Siapa namamu, nak?” tanya Markus Amanit.

“Rimat Abanat.” Jawab anak ini.

Markus Amanit dan Rimat Sang Penunjuk jalan tiba di rumah kepala sekolah. Ia berterima kasih pada Rimat, Sang Penunjuk jalan. Rimat jalan bergegas pergi.

Bunyi mesin motor di depan rumah membuat penghuninya keluar untuk memastikan siapa yang datang. Sepasang suami-isteri tertegun melihat seorang pemuda berdiri di sana.

“Selamat sore, pak, ibu,” demikian Markus menyapa sambil membungkuk dan mengulurkan tangan untuk menyalami.

Pasangan suami-isteri ini menerima salam dan jabatan tangan Markus. Lalu menyilakan untuk masuk ke dalam rumah. Basa-basi percakapan dimulai sampai pada titik waktu, Markus memperkenalkan diri.

“Perkenalkan, pak, ibu, nama saya, Markus Amanit. Saya guru dengan status P3K yang ditempatkan di sekolah yang bapak pimpin. Saya datang untuk melaporkan diri agar segera dapat bertugas, pak,” Markus  menyampaikan maksudnya.

“Ya. Saya sudah mengetahuinya. Seorang pejabat pada Dinas Pendidikan telah menyampaikan pada kami  di sini. Rekan-rekan guru telah mengetahuinya. Jadi, baiklah. Berhubung hari sudah malam, kamu bersama kami di sini. Besok kita ke sekolah. Di sana barulah kita melakukan tugas administrasi pelaporan,” demikian sambutan dan saran dari bapak penghuni rumah.

Sang bapak ini dalam tugasnya di sekolah sebagai kepala sekolah. Namanya Robert Mainini.

Malam di desa ini, udara dingin menyengat tubuh. Bapak Kepala Sekolah, isterinya dan Markus duduk di ruang tengah rumah itu. Mereka bercerita sekadar mengisi waktu. Cerita tentang keluarganya Markus Amanit, masa studi hingga akhirnya menjadi guru dengan status P3K.

Markus Amanit membungkus badannya dengan selimut pemberian pemilik rumah. Angin sepoi basah masuk dalam kamar yang ditempatinya. Markus tak dapat memejamkan matanya, padahal badannya remuk dalam perjalanan ke desa ini. Ia baru dapat memejamkan mata pada tengah malam.

Burung-burung malam bersuara lantang. Anjing melolong di kejauhan. Sepi. Malam yang sungguh lengang.

Pagi tiba. Markus Amanit bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia akan berangkat bersama Kepala Sekolah. Gedung sekolah tidak jauh, sayangnya tidak terlihat secara langsung oleh karena letaknya di belakang bukit, walau masih di dalam wilayah desa yang sama.

Motor dilajukan. Sang Kepala Sekolah, Robert Mainini bermotor sendiri. Markus Amanit pun demikian. Dua unit motor beriringan menuju ke sekolah. Tiba di sekolah, guru yang bertugas piket dan guru lainnya sedang para murid membersihkan ruang kelas masing-masing. Beberapa murid membersihkan halaman oleh karena dedaunan yang rontok dari tangkainya.

“Selamat pagi, pak,” para murid menyapa Kepala Sekolah.

“Selamat pagi, pak,” seorang guru mendekat dan memberi salam. Ia menjabat tangan Markus Amanit.

Beberapa saat kemudian bel tanda apel pagi dibunyikan. Para murid bergegas membentuk barisan. Guru piket mengontrol mereka. Seorang di antara para murid mengambil posisi sebagai komandan barisan pada apel pagi ini.

“Seluruhnya, siaap… grak!” aba-abat terdengar.

Barisan pun telah siap setelah terlihat rapih.

“Istirahat di tempat, grak!” aba-aba berikutnya terdengar lagi.

Selanjutnya guru piket memberi beberapa arahan ringan. Ia memberi peluang kepada Kepala Sekolah untuk memberikan arahan. Semua guru berdiri dalam satu barisan tanpa aba-aba. Markus Amanit berada di sana.

“Rekan-rekan guru dan anak-anak sekalian. Selamat pagi,” sapa Kepala Sekolah.

“Selamat pagiiii … ,” balas para murid.

“Kemarin sore di rumah saya, kami kedatangan tamu. Tamu itu sekarang ada di sini. Tentu rekan-rekan guru dan anak-anak sudah mengetahui, bahwa kita ada penambahan satu orang guru. Hal ini sudah saya sampaikan beberapa hari yang lalu. Namanya, bapak Markus Amanit. Supaya menjadi lebih baik, maka saya persilakan bapak guru baru untuk memperkenalkan diri,” demikian penyampaian Kepala Sekolah.

Markus Amanit maju. Ia memperkenalkan diri sebagai guru baru dengan status P3K. Ia akan bertugas di tempat ini sesuai penugasan dari Pemerintah Kabupaten. Ia akan menjadi teman dan sahabat, demikian pula menjadi kerabat baru baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

Apel pagi diakhiri doa dan salam jabat guru dengan murid. Tugas pelaporan kepada Kepala Sekolah, perkenalan dengan rekan guru berlangsung. Kepala Sekolah menandatangani satu lembar kertas, selanjutnya menyerahkannya kepada Markus Amanit. Kertas itu sebagai dokumen resmi bukti dari Kepala Sekolah bahwa ia telah tiba di tempat bertugas.

Surat itu akan dikirimkan ke Dinas Pendidikan melalui aplikasi CamScanner yang dapat mengubahnya dalam bentuk word atau portable document format (pdf). Masalah baru muncul, signal internet amat parah. Markus Amanit perlu menemukan signal itu. Ia baru berhasil mengirimkannya setelah mencari lokasi yang tepat. Hal itu dapat terjadi di luar jam belajar regular.

Rapat para guru memutuskan untuk menempatkan Markus Amanit sebagai Guru Kelas III. Hari ini dengan langkah pasti Markus memasuki kelas di mana.  Markus Amanit Kembali diperkenalkan secara khusus di ruang kelas III. Kali ini Kepala Sekolah yang mengantar sampai di sana.

Kepala sekolah meninggalkan ruangan kelas. Markus Amanit lalu melanjutkan dengan perkenalan. Ia melihat daftar hadir yang terletak di meja guru. Ia memangggil nama murid–muridnya sebagai cara untuk mengenal mereka satu persatu berdasarkan urutan nama yang ada pada daftar hadir. Jumlah murid pada kelas III sebanyak 20 orang murid dan hari itu yang hadir 19 orang murid. Satu orang murid tidak hadir Ketika hari pertama Markus Amanit bertugas. Murid itu bernama Bernadeta Askaut. Menurut informasi sudah dua hari Bernadeta Askaut tidak bersekolah tanpa berita yang jelas.

 

Hari berlalu dan sudah 3 hari pak Markus mengajar tapi Bernadeta Askaut tak kunjung juga hadir di sekolah, padahal dari informasi yang didapat pak Markus dari teman sekelas, Bernadeta Askaut adalah murid yang tergolong cerdas, rajin, suka menolong dan disenangi oleh para guru dan teman teman di sekolahnya.

 

Rasa penasaran akan sosok Bernadeta Askaut merayapi benak. Setelah usai sekolah pada sore hari pak Markus mencoba untuk berkunjung ke rumah Bernadeta Askaut. Dalam perjalanan menuju rumah Bernadeta Askaut ada beberapa anak yang bersedia menemani dan mengantar.

Sumber: Meta AI

Rumah Bernadeta Askaut berada di ujung kampung di tepi sungai yang ada airnya di musim penghujan. Sebuah rumah yang kecil beratap alang–alang. Guru Markus Amanit disambut oleh penghuni rumah, seorang gadis kecil dengan wajah pucat-pasi, dan bertubuh kurus. Di rumah ini, Bernadeta Askaut tinggal bersama neneknya ini.

Sumber: Meta AI

 

 

Setelah diajak masuk oleh gadis yang menjemput, terlihat ada seorang nenek duduk di kursi. Rupanya sang nenek sedang sakit. Guru Markus Amanit menghampiri Bernadeta Askaut, Wajah anak itu pucat, tubuhnya terlihat kurus.

 

Anak-anak yang mengantar Guru Markus Amanit ada yang menemani mengunjungi Bernadeta Askaut, yang lain sudah pulang. Guru Markus mengambil tempat duduk pada salah satu kursi yang kelihatan kurang kuat alias reyot. Kursi itu terletak di sudut rumah. Kelihatannya di rumah ini  terdapat hanya dua kursi yang baik satu unit meja tua. Guru Markus memperkenalkan diri sebagai guru wali kelas Bernadeta Askaut yang baru.

 

Segelas air putih disuguhkan di atas meja lalu Bernadeta Askaut menyilakan Guru Markus untuk minum.

 

Sambil minum Guru Markus bertanya, “Nak Bernadeta sudah berapa hari tidak ke sekolah?”

 Bernadeta menjawab, “sudah 5 hari pak.“

 “Mengapa Bernadeta tidak ke sekolah? Apakah kamu sakit?“

“Saya tidak sakit, pak guru.” Bernadeta terdiam.

Sang nenek bertanya dalam bahasa timor Meto’, “te ii je sekau?

“ Pak Malkus, au kulu feu’, nene,”  jawab Bernadeta pada neneknya.

 “Nenek saya tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik, pak.  Saya tinggal dengan nenek sejak ayah dan ibu saya meninggal beberapa tahun yang lalu. 

 Badai Seroja menyebabkan banjir bandang. Dua orang tuanya terseret banjir bandang.

“Saya anak tunggal dan hanya nenek saya yang saya miliki saat ini, pak. Untuk makan minum setiap hari kami makan jagung titi halus (peen tutu’). Kami dapat jagung dari hasil membantu orang–orang yang membutuhkan tenaga saya.”

 “ Lalu mengapa Bernadeta tidak ke sekolah kalau tidak sakit?“ tanya Guru Markus.

Bernadeta hanya terdiam lalu tertunduk. Matanya mulai berkaca–kaca dan air matanya mengalir deras. Dalam isak tangisnya dengan suara terbata Bernadeta jujur bahwa sepatu yang dimilki sudah robek pada bagian depan, bajunya juga sudah robek di beberapa bagian dan tidak bisa ditambal lagi.

 “Saya malu dengan teman–teman di sekolah. Saya mau sekolah supaya menjadi orang pintar, pak, tapi apa daya,”Tangisan Bernadeta meledak.

Guru Markus mendekat dan merangkul Bernadeta Askaut ke dalam pelukannya, sambil mengelus kepala ia berkata, “kamu jangan kuatir. Akan bapak guru membantu membelikan pakaian seragam yang baru, asal kamu  ke sekolah besok.“

“Tapi, pak,  … . Bagaimana dengan sepatu dan baju saya yang robek?”  tanya Bernadeta Askaut.

“Besok ada kerja bakti bersih-bersih halaman sekolah. Jadi kamu tidak perlu memakai baju seragam.” Kata Guru Markus.

“ Terima kasih, pak,” jawab Bernadeta.

Akhir pertemuan di rumah Bernadeta Askaut saat itu Pak Markus lalu pamit pulang. Guru Markus Amanit menjadi penghuni mess guru.Mess itu berada di sebelah timur dari gedung sekolah SD Negeri Anugerah. Pada keesokan harinya Bernadeta Askaut juga sudah hadir di sekolah sebelum apel pagi dilaksanakan. Guru Markus sangat senang melihatnya.

Wajah Bernadeta pucat saat di sekolah, dan terlihat Bernadeta Askaut hanya duduk saja melihat teman– temannya bermain di halaman sekolah Ketika usai kerja bakti membersihkan halaman sekolah. Saat pulang sekolah dan sebagian besar anak–anak sudah pulang,  Bernadeta datang dan berpamitan dengan Markus di mess guru.

Akhir pekan Guru Markus bersiap untuk kembali ke Kota Kabupaten. Ia hendak memastikan bahwa kirimannya melalui aplikasi Camscanners sudah diterima oleh Dinas Pendidikan.

Ia berencana membelikan pakaian seragam untuk Bernadeta Askaut sesuai janjinya saat berkunjung ke rumahnya. Setelah berpamitan dan Bernadeta kembali kerumahnya ia bergegas mengambil motor untuk berangkat.

Pada hari Senin subuh di awal minggu itu  Guru Markus berangkat dari rumahnya di kota Kabupaten menuju tempat tugsnya kemabali. Ia tak lupa membawa pakaian seragam untuk muridnya, Bernadeta Askaut. Sudah terbayang wajah Bernadeta Askaut yang senang karena sudah bisa bersekolah normal seperti biasanya dan bisa menggapai cita – citanya.

Jarak tempuh yang jauh tak terhiraukan. Guru Markus Amanit tiba di desa tempatnya bertugas. Ia langsung menuju rumah rumah Bernadeta Askaut. Di sana banyak orang sedang sibuk. Banyak anak-anak di desa itu ikut berada di sana.

Beberapa motor diparkir di halaman rumah Bernadeta Askaut. Guru Markus memarkir motornya. Ia bergegas masuk ke rumah itu. Seorang anak berlari mendapati Guru Markus, menahannya sebentar lalu menyampaikan berita padanya.

“Pak Guru, teman kami Bernadeta sudah meninggal.”

Pak Markus terdiam dan hanya air matanya yang mengalir deras, hatinya hancur, usahanya sia sia. Ia membawa paket permintaan muridnya sebagai sofi pada jenazah muridnya ini.

Nenek dari Bernadeta Askaut menangis, meraung dalam sakitnya.

Dari cerita yang didapatkan oleh Guru Markus Amanit pada hari-hari berkabung, ternyata selama ini Bernadeta mengalami beberapa gejala penyakit. Gejala-gejala itu seperti: sakit perut, muntah darah, tinja berwarna hitam saat membuang air besar. Ini menandakan bahwa pada tubuh Bernadeta ada gangguan pada alat-alat pencernaannya.

Jenis penyakit yang dapat timbul dari gejala seperti itu antara lain: gastritis erosive, tukak lambung, sindrom Mallory-Weiss, perforasi lambung atau keracunan. Jenis-jenis penyakit itu butuh penanganan segera.

Bernadeta Askaut telah pergi untuk selamanya. Ia meninggalkan Kesan mendalam pada Guru Markus Amanit. Ia mengucapkan mimpi dan cita-citanya, namun tak dapat untui digapainya. Namanya diabadikan dalam relung hati seorang guru dengan status P3K. Sang guru teriris emosinya, mengenang Bernadeta yang ditemuinya hanya beberapa saat.

“Selamat jalan, nak.” Guru Markus membatin ketika membalikkan badannya di area pekuburan di desa itu.

Sumber: Meta AI


Hari telah menjelang sore ketika berjenis unggas bernyanyi mengantar kepergian Sang Surya. Malam tiba. Gemintang bertaburan. Udara malam cukup sejuk. Kampung Kembali sepi. Guru Markus duduk di teras mess guru, melambungkan imajinasi pada anak-anak di desa itu.

Sumber: Meta AI



 



Penulis: Alex Faot
Editor: Heronimus Bani

 

 

Komentar

  1. Terima kasih banyak pak Alex untuk karya cerita pendek ini. Teruskan menulis.

    BalasHapus
  2. Terima kasih bapa Roni terima kasih untuk waktu belajar yang berharga ini

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curhat ibu Guru pada Jalan yang dilalui Bagai si Anak Tiri

Catatan tentang Kebun Kelapa pada Penulis Pemula

Menulis untuk Berterima kasih